Pengertian
paradigma secara komprehensif yaitu merupakan kesamaan pandang keilmuan yang
didalamnya tercakup asumsi-asumsi, prosedur-prosedur dan penemuan-penemuan yang
diterima oleh sekelompok ilmuan dan secara berbarengan menentukan corak/pola
kegiatan ilmiah yang tetap. Selain itu, paradigma juga diartikan sebagai
keseluruhan kumpulan (konstelasi) kepercayaan, nilai-nilai, cara-cara (teknik)
dan sebagainya yang dianut warga suatu komunitas tertentu.
Menurut
Harvey dan Holly pengertian paradigma dibedakan atas tiga macam pengertian
yaitu:
- Paradigma Metafisika atau metaparadigm yang
menggambarkan pandangan secara global keseluruhan sebuah ilmu, dimana
mempunyai fungsi dasar yaitu, menetapkan apa saja yang sebenarnya (dan
yang bukan ) menjadi urusan masyarakat ilmiah tertentu, memberi petunjuk
kepada ilmuwan kearah mana melihat (dan arah mana yang tidak usah dilihat)
agar menemukan apa-apa yang sebenarnya menjadi urusannya, serta memberi
petunjuk kepada ilmuwan apa yang dapat diharapkan untuk ditemukan jika ia
mendapatkan dan menyelidiki apa-apa yang sebenarnya menjadi urusan dalam
bidang ilmunya.Paradigma ini mencakup wilayah konsensus paling luas dalam
suatu disiplin dan menetapkan bagian-bagian wilayah penelitian.
- Paradigma Sosiologis, pengertiannya hanya terbatas pada keberhasilan ilmiah
yang konkret yang mendapat pengakuan secara universal.
- Paradigma Artefak atau Construct paradigm mengandung
artian paling sempit, yang dapat berarti apa-apa yang secara khas
(spesifik) termuat dalam suatu buku, instrumen ataupun hasil karya
pengetahuan klasik. Secara konseptual paradigma Artefak ada dalam lingkup
cakupan paradigma Sosiologis, dan paradigma Sosiologis ada dalam lingkup
cakupan Metaparadigm.
Dari
segi ini ternyata geografi sosial sebagai ilmu telah mengalami berbagai periode
perkembangannya. Masing-masing periode menunjukkan kesamaan karakter persepsi
terhadap apa yang disebut sebagai suatu Paradigma.
Contoh
paradigma dalam geografi sosial antara lain yaitu :
- Paradigma Determinisme lingkungan
yang dikembangkan oleh Ratzel
- Paradigma atau faham
Posibilitis sekaligus sebagai salah satu pengembang paradigma regional
yang dikembangkan oleh Vidal
- Paradigma Bentang alam budaya
yang juga menerapkan pendekatan kesejahteraan yang dikembangkan oleh Saver
- Paradigma Regional di Amerika
yang dikembangkan oleh Hatshorne
- Paradigma Keruangan yang
dikembangkan oleh Schaefer yang merupakan penganut positivisme ilmu
Sebenarnya
perkembangan keilmuan yang terjadi pada ilmu pengetahuan bersifat evolutif dan
berjalan melalui kurun waktu yang relatif panjang sehingga
perkembangan-perkembangan yang telah berkembang sebelumnya, sejalan dengan
perkembangan kualitas ilmu pengetahuan beserta alat-alat bantu penelitian dan
analisisnya.
1.
Periode Perkembangan Paradigma-paradigma Tradisional
Pada
masa paradigma tradisional muncul 3 macam paradigma dalam studi geografi.
Secara garis besarnya dimulai sebelum tahun 1960-an, antara lain:
- Paradigma Eksplorasi
- Paradigma Environmentalisme
- Paradigma Regionalisme
Masing-masing
paradigma ini menunjukkan sifat-sifatnya sendiri dan produknya yang merupakan
pencerminan perkembangan suatu tuntutan kehidupan serta pencerminan
perkembangan teknologi penelitian serta analisis yang ada.
a.
Paradigma eksplorasi
Menunjukkan
proses perkembangan awal dari pada “geographical thought” yang pernah dikenal
arsipnya. Kekuasaan paradigma ekplorasi ini terlihat dari upaya
pemetaan-pemetaan, penggambaran-penggambaran tempat-tempat baru yang belum
banyak diketahui dan pengumpulan fakta-fakta baru yang belum banyak diketahui
dan pengumpulan tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan
fakta-fakta dasar yang berhubungan dengan daerah-daerah baru. Dari kegiatan
inilah kemudian muncul tulisan-tulisan atau gambaran-gambaran, peta-peta daerah
baru yang sangat menarik dan menumbuhkan motivasi yang kuat bagi para peneliti
untuk lebih menyempurnakan produk yang sudah ada, baik berupa tulisan maupun
peta-petanya.
Penemuan-penemuan
daerah baru yang sebelumnya belum banyak dikenal oleh masyarakat barat mulai
bermunculan pada saat itu. Sifat dari pada produk yang dihasilkan berupa
deskriptif dan klasifikasi daerah baru beserta fakta-fakta lapangannya. Suatu
hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya latar belakang teoritis yang
mendasari penelitian-penelitian yang dilaksanakan. Inilah sebabnya ada beberapa
pihak yang menganggap bahwa untuk menyebut perkembangan “geographical
thought” atau pikiran/ gagasan secara geografi sebagai suatu deskripsi
sederhana tentang apa yang diketahui dan dihasilkan dari pengaturan (ordering)
dan klasifikasi (classification) data yang masih sangat sederhana.
b.
Paradigma Environmentalisme
Paradigma
ini muncul sebagai perkembangan selanjutnya dari metode terdahulu. Pentingnya
sajian yang lebih akurat dan detail telah menuntut peneliti-peneliti pada masa
ini untuk melakukan pengukuran-pengukuran lebih mendalam lagi mengenai
elemen-elemen lingkungan fisik dimana kehidupan manusia berlangsung. Paradigma
ini terlihat mencuat pada akhir abad sembilan belas, dimana pendapat mengenai peranan
yang besar dari “lingkungan fisik” terhadap pola-pola kegiatan manusia di
permukaan bumi bergaung begitu lantang (geographical determinism).
Bahkan, sampai pertengahan abad dua puluh saja, ide-ide ini masih terasa
gemanya.
Bentuk-bentuk
analisis morfometrik dan analisis sebab-akibat mulai banyak dilakukan. Dalam
beberapa hal “morphometric analysis” pada taraf mula ini berakar pada
“cognitive description”dimana pengembangan sistem geometris, keruangan dan
koordinat yang dikerjakan telah membuahkan sistematisasi dan klasifikasi data
yang lebih lengkap, akurat dibandingkan dengan tehnik-tehnik terdahulu.
Muncul
analisis newtwork untuk mempelajari pola dan bentuk-bentuk kota misalnya,
merupakan salah satu contohnya dan kemudian sampai batas-batas tertentu dapat
digunakan untuk membuat prediksi (model-model prediksi)dan simulasi. Untuk ini,
karya Walter Christaller (1993) merupakan contoh yang baik. Upaya untuk
menjelaskan terkondisinya fenomena-fenomena tertentu, khususnya “human
phenomena” oleh elemen-elemen lingkungan fisik mulai dikerjakan lebih baik dan
sistematik. Akar daripada latar belakang analisis hubungan antara manusia dan
lingkungan alam bermulai disini.
Perkembangannya
kemudian nampak bahwa analisis hubungan antara manusia dengan lingkungan alam
telah memunculkan bentuk-bentuk lain di dalam menempatkan manusia pada
ekosistem. Manusia tidak lagi sepenuhnya didekte oleh lingkungan alam tetapi
manusia mempunyai peranan yang lebih besar lagi di dalam menentukan
bentuk-bentuk kegiatannya di permukaan bumi (geographical possibilism dan
probabilism).
c.
Paradigma Regionalisme
Perkembangan
terakhir dari periode paradigma tradisional adalah paradigma Regionalisme.
Disini nampak unsur “fact finding tradition of exploration” di satu sisi dan
upaya memunculkan sistesis hubungan manusia dan lingkungannya di sisi lain
nampak mewarnai paradigma ini. Konsep-konsep region bermunculan sebagai dasar
pengenalan ruang yang lebih detail.
Wilayah
ditinjau dari segi tipenya (formal and functional regions) wilayah ditinjau
dari segi hirarkinya (the 1st order, the 2nd order,
the3rd order, etc. Regions) dan wilayah ditinjau dari segi
kategorinya (single topic, duoble topic, combine topic, multiple topic, total,
regions) adalah beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan
berkembangnya paradigma regionalisme ini, dalam membantu analisis. Disamping
itu “temporal analysis” sebagai salah satu bentuk “causal analysis” berkembang
pula pada periode ini (Rostow, 1960; Harvey, 1969).
2.
Periode Perkembangan Paradigma-Paradigma Kontemporer
Pada
masa ini mulai terjadi perkembangan baru di bidang metode analisis kuantitatif
dan “model building”. Perkembangan paradigma geografi pada msa ini juga disebut
sebagai periode paradigma analisis keruangan (the spatial analysis paradigm).
Coffey (1981) mengemukakan tentang ciri-ciri paradigma geografi kontemporer
antara lain yaitu adanya sinyalemen bahwa salah satu ciri daripada geografi
kontemporer adalah adanya kecenderungan spesialisasi yang dikhawatirkan akan
menjauh dari fitrah geografi sendiri. Hal ini ternyata sejalan dengan apa yang
masing-masing spesialisasi ini menjadi sedemikian terpisah atau salah satu sama
lain sehingga hubungan intelektualnya pudar.
Kemudian
dikemukakan pula bahwa untuk mengatasi agar bahaya yang disinyalir oleh para
pakar mengenai pudarnya fitrah geografi adalah dengan pendekatan sistem,
khususnya spatial system approach. Untuk sampai ke arah ini, dengan
sendirinya pengetahuan dasar mengenai sistem sendiri harus dimiliki oleh
mahasiswa geografi. Pada masa ini functional analysis, ecological
analysis dan system analysis berkembang dengan baik
pula sejalan dengan inovasi daripada teknik-teknik dan metode analisis
(Holt-Jensen, 1980).
Ide
untuk kembali ke fitrah geografi memang berulang-ulang didengungkan oleh para
pakar. Hal ini memang wajar sekali karena telah disinyalir munculnya
penyimpangan-penyimpangan yang dianggap mengaburkan ciri khas geografi itu
sendiri. Selama perkembangannya, ada dua gerakan munculnya ide sintesis ini.
Gerakan pertama kali dikemukakan oleh Ritter dimana studi Geografi tidak lain
dianggap sebagai suatu “regional synthesis”. Semua fenomena dianggap
berhubungan satu sama lain dan masing-masing mempunyai peranannya yang khas
dalam satu perangkat sistem. Untuk itulah geografiwan harus mempelajari
sintesis daripada gejala-gejala yang ada pada suatu wilayah dan yang
mengungkapkan apa yang disebut sebagai “wholeness”. Ide pendekatan sistem
memang tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran ini.
Konsep
sintesis baru dikemukakan oleh Peter Haggett (1975) di dalam karyanya yang
berjudul “Geography : A Modern Synthesis”. Sintesis baru ini berusaha merangkum
beberapa pendekatan terdahulu sampai saat ini dengan memberi warna yang lebih
fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan di bidang teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar